Batusangkar, Sumatera Barat | Laporan dugaan korupsi terhadap pengurus Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Kabupaten Tanah Datar bukan sekadar isu lama yang mengendap. Ia adalah potret buram tata kelola dana hibah yang berpotensi menyeret organisasi sosial ke pusaran tindak pidana korupsi, jika indikasi-indikasi yang dilaporkan terbukti secara hukum.
Dana hibah yang dialokasikan kepada Kwarcab Pramuka Tanah Datar bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dalam hukum keuangan negara, status dana tersebut jelas: uang negara. Konsekuensinya, setiap penggunaan, pergeseran, hingga pertanggungjawaban dana hibah tunduk pada rezim hukum pidana korupsi, bukan semata urusan internal organisasi.
Laporan masyarakat ke aparat penegak hukum mengurai sejumlah indikasi yang dinilai mencurigakan. Mulai dari besaran anggaran kegiatan yang dianggap tidak sebanding dengan realisasi di lapangan, pola pengeluaran yang berulang pada item tertentu, hingga laporan pertanggungjawaban yang dinilai tidak transparan dan minim akses publik.
Jika dugaan tersebut diuji dalam konstruksi hukum, maka pintu Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terbuka lebar. Pasal ini menjerat setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara. Ancaman pidananya bukan main-main: penjara minimal 4 tahun, maksimal 20 tahun, bahkan seumur hidup.
Lebih jauh, Pasal 3 UU Tipikor juga relevan apabila terbukti adanya penyalahgunaan kewenangan karena jabatan atau kedudukan dalam pengelolaan dana hibah. Dalam konteks organisasi penerima hibah, kewenangan mengelola anggaran adalah amanah hukum. Ketika kewenangan itu digunakan menyimpang dari tujuan hibah, unsur pidana dapat terpenuhi.
Satu titik krusial dalam perkara ini adalah pembuktian kerugian negara. Kerugian negara tidak harus selalu berbentuk uang yang hilang secara kasat mata. Dalam praktik hukum, kerugian dapat timbul akibat pengeluaran yang tidak sah, pemborosan anggaran, atau pembayaran atas kegiatan yang secara faktual tidak sesuai dengan laporan.
Pengurus Kwarcab Pramuka Tanah Datar membantah keras seluruh tudingan. Mereka menyatakan seluruh dana telah digunakan sesuai peruntukan dan dilaporkan melalui mekanisme resmi. Namun dalam logika hukum pidana, klaim bukanlah bukti. Yang menentukan adalah dokumen keuangan, bukti transaksi, kesesuaian antara laporan dan fakta lapangan, serta hasil audit independen.
Di sinilah peran kejaksaan menjadi sangat menentukan. Penyidik memiliki kewenangan untuk membedah aliran dana, memeriksa rekening, memanggil pihak terkait, hingga meminta audit investigatif. Jika ditemukan rekayasa laporan, penggelembungan harga, atau penggunaan dana di luar peruntukan, jerat hukum akan berlapis.
Selain UU Tipikor, potensi pasal lain juga mengintai. Pasal 8 UU Tipikor mengatur penggelapan dalam jabatan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur pemalsuan dokumen apabila laporan pertanggungjawaban tidak sesuai fakta. Bahkan pihak yang menikmati aliran dana dapat dijerat sebagai turut serta atau membantu tindak pidana.
Namun kasus ini juga menyingkap persoalan yang lebih luas: lemahnya pengawasan dana hibah. Pemerintah daerah sebagai pemberi hibah memiliki kewajiban memastikan dana digunakan tepat sasaran. Ketika laporan hibah bermasalah, pertanyaan tidak hanya tertuju pada penerima, tetapi juga pada sistem pengawasan yang berjalan.
Hingga kini, belum ada pengumuman resmi terkait peningkatan status perkara ke tahap penyidikan atau penetapan tersangka. Kondisi ini memunculkan dua kemungkinan: proses hukum masih berjalan secara senyap, atau bukti awal belum cukup kuat untuk menjerat pidana. Keduanya sama-sama menuntut kejelasan.
Bagi publik, perkara ini tidak boleh dibiarkan menguap. Dana hibah bukan dana privat. Setiap rupiah berasal dari uang rakyat. Transparansi bukan pilihan, melainkan kewajiban hukum. Ketika transparansi gagal, kecurigaan akan tumbuh, dan ketika kecurigaan bertemu bukti, hukum pidana akan bicara.
Kasus dugaan korupsi Kwarcab Pramuka Tanah Datar adalah ujian integritas. Bukan hanya bagi organisasi yang dilaporkan, tetapi juga bagi aparat penegak hukum dan pemerintah daerah. Apakah hukum akan ditegakkan berdasarkan bukti, atau dibiarkan tenggelam oleh waktu.
Pada akhirnya, hanya satu yang pasti: jika dana negara disalahgunakan, hukum menyediakan sanksi berat. Dan jika tidak terbukti, publik berhak mengetahui kebenaran secara terbuka. Dalam negara hukum, tidak ada ruang aman bagi penyimpangan, dan tidak ada tempat bagi tuduhan tanpa pembuktian.
TIM
